Powered By Blogger

OBSERVATION

OBSERVATION
When we observ in slamet mount.

Sekilas tentang HYLOBATES MOLOCH

HYLOBATES MOLOCH ( OWA )

Invalid status (IUCN 3.1)[2]

Scientific classification Kingdom: Animalia
Phylum:
Chordata
Class:
Mammalia
Order:
Primates
Family:
Hylobatidae
Genus:
Hylobates
Species: H. Moloch

Owa Jawa, merupakan salah satu hewan primata paling langka. Keberadaannya masuk dalam status “terancam punah”. Selain makin sedikit, banyak yang memburu hanya untuk dipelihara. Pemberian status terancam ini sepertinya justru menarik masyarakat untuk kepentingan pribadi.

Saat ini Owa Jawa hidup sebagian besar di hutan-hutan di Jawa Barat, sebagian kecil di Jawa Tengah, Gunung Slamet, dataran tinggi Dieng dan Jawa Timur. Makanan Owa Jawa adalah buah-buahan alami, daun muda dan serangga. Owa Jawa dapat hidup sampai umur 20 tahun. Ciri khas dari hewan ini adalah teriakkan atau nyanyiannya. Teriakkan atau nyanyian Owa Jawa menandakan territorial tempat tinggal dan area mencari makan.

Saat ini berbagai upaya telah dilakukan untuk menyelamatkan Owa Jawa dari kepunahan. Diantaranya kegiatan edukasi masyarakat luas, khususnya yang tinggal di daerah kawasan hutan. Anton Ario dari Conservation International Indonesia (CII) mengatakan, masyarakat sekitar hutan sangat berperan penting dalam proses pemberian informasi mengenai pendeteksian keberadaan Owa Jawa yang dipelihara oleh masyarakat.

Proses Rehabilitasi

Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat, tepatnya di resort Bodogol, terdapat pusat rehabilitasi Owa Jawa. Owa Jawa yang masuk rehabilitasi biasanya berumur tujuh tahun. Rehabilitasi Owa Jawa perlu dilakukan secara bertahap agar dapat mengembalikan kemampuan survival Owa Jawa yang telah lama dipelihara oleh masyarakat.

Mulanya Owa Jawa dimasukkan karantina untuk diperiksa kesehatannya dan juga perubahan perilaku yang terjadi seperti pola makan dan interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Saat dipelihara Owa Jawa selalu diberi makan buah-buahan secara teratur, tetapi pada saat dikembalikan ke alam bebas, Owa Jawa harus belajar mencari sendiri dimana ada buah di hutan.

http://gedepangrango.org/wp-content/uploads/2008/11/20080901_owajawa-greenradio-2.jpg

Setelah melewati masa karantina kurang lebih selama 1–1,5 bulan, Owa Jawa siap untuk dilepaskan ke alam bebas untuk dapat bersosialisasi dengan lingkungan aslinya. Petugas selalu melakukan monitoring terhadap Owa Jawa yang baru dilepaskan untuk dapat mengetahui perkembangan yang terjadi terhadap Owa Jawa tersebut.

Untuk menyelamatkan Owa Jawa dari ancaman kepunahan, perlu dilakukan kerjasama semua pihak. Selain upaya penegakkan hukum yang lebih kongkret dan tegas terhadap para pemburu Owa Jawa, juga diperlukan kegiatan pendidikan dan sosialisasi informasi kepada masyarakat luas, agar lebih peduli kepada hewan primata ini yang jumlahnya makin sedikit. Mari selamatkan Owa Jawa dari kepunahan!!

Kepunahan primata endemik Pulau Jawa di habitat alaminya, owa jawa (Hylobates moloch), dapat diperlambat. Di antaranya, melalui keberpihakan pemerintah mempertahankan hutan tersisa di Jawa.

Demikian salah satu keyakinan pada lokakarya Penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Owa Jawa 2008-2018 yang diadakan Asosiasi Peminat dan Ahli Primata Indonesia (APAPI), berlangsung di Bogor, Senin-Selasa (10-11 September). "Kami berharap ada komitmen para pihak untuk menjaga hutan tersisa," kata Ketua APAPI Noviar Andayani di Bogor, Senin (10/11).

Tahun 2018, populasinya diharapkan stabil dan tak ada konversi hutan, terutama di kawasan habitat alaminya. Survei 2008 diharapkan menemukan perkiraan terkini populasi di alam.

Ada dua perkiraan populasi owa jawa pada tahun 2004 (dua penelitian terpisah), masing-masing kisaran 4.000-4.500 dan 2.600-5.304 ekor. Badan Konservasi PBB mengategorikan terancam punah bagi primata yang sempat berstatus kritis (tahun 1996-2000) itu.

Lokakarya dua hari itu di antaranya diisi dengan diskusi kelompok mengidentifikasi masalah, ancaman, dan solusi realistis di tengah kondisi aktual. Peserta: para pengambil keputusan di pusat dan daerah, ahli primata, akademisi, dan aktivis lingkungan.

Survei lapangan di Jawa Barat dan Jawa Tengah. "Kami belum bisa memperkirakan populasi di Jawa Barat. Belum selesai dan butuh data peta sebaran hutannya," kata Ketua Kelompok Survei Owa Jawa di beberapa kawasan di Jabar, Made Wedana.

Hal sama diungkapkan penyurvei owa jawa wilayah Jateng, Arief Setiawan. "Dari perjumpaan langsung di wilayah survei kurang dari seratus ekor. Tapi, belum bisa diestimasi seluruhnya."

Sebaran owa jawa di Jateng meliputi kawasan cagar alam Gunung Slamet dan Linggojati dan Sokakembang di Pekalongan. Perjumpaan tak langsung terjadi di kawasan Sekarlangit, tak jauh dari Pekalongan.

Sebaran di Jabar mulai dari Taman Nasional Ujung Kulon, TN Gunung Gede-Pangrango, TN Gunung Halimun-Salak, cagar alam Gunung Burangrang, Gunung Tilu, Gunung Simpang, Gunung Papandayan, dan Sancang.

Kerusakan hutan hampir di semua lokasi cagar alam atau hutan lindung, seperti di cagar alam Sancang dan Papandayan, serta di Sokakembang. "Dua tahun lalu, saya masuk hutan di Pekalongan masih rapat, sekarang sudah terbuka," kata Arief.

Menurut dosen dan peneliti Institut Pertanian Bogor, Entang Iskandar, owa jawa secara alami di ketinggian pohon. Namun, temuan tim penyurvei Garut, Jabar, owa jawa turun ke lantai hutan. Kondisi itu memudahkan tertangkap pemburu liar.

Jika kami bisa tentu anda bisa .

Di Dunia terdapat dua ratus jenis Primata baik kera dan monyet dari dua ratus jenis tersebut Indonesia memiliki empat puluh jenis, Sungguh kekayaan Primata yang harus kita banggakan.dari empat puluh tersebut terdapat dua puluh empat jenis endemik atau langka.Jawa tengah salah satunya yang memiliki empat endemik dan paling membuat kita bangga sebagai putra daerah Purbalingga ternyata empat endemik tersebut ada di kawasan Gunung Selamet .Dengan hal tersebut kami sungguh termotifasi untuk melakukan keseimbangan Primata yang ada di Purbalingga primata-primata tersebuat adalah Owa dengan nama latin Hylobates moloch,Rekrekan dengan nama latin Presbytis frederice sody Lutung dengan nama latin Presbytis comata dan Ketek dengan nama latin Macccaca fasicularcis.

Dengan adanya primata tersebut kami sangat termotifasi untuk membuat langkah melakukan program-program Konservasi apalagi tiga jenis tersebut merupakan langka dan di lindungi Undang – Undang tahun 1930 tentang binatang liar Undang – Undang 05 tahun 1990 dan di perkuat No 266 keputusan Menteri Kehutanan tahun 1990 tentang perlindungan satwa liar.Dengan adanya Informasi tersebut banyak Pemerhati Primata peka dan mulai bergerak namun sangat di sayangkan karena yang melakukan program program tersebut bukan orang Indonesia ,contoh Konservasi elang jawa di programkan oleh orang orang Swedia, Owa yang berada di gunung elamet sungguh keberadaan yang patut kita pertahankan dari ancaman kepunahan, ancaman Predator, Pemburu, dan ancaman dari habitat yang semakin sempit

Oleh karena itui kami sangat termotifasi untuk melakukan kemampuan kami dalam mengupayakan program-program Konservasi Primata di kabupaten Purbalingga khususnya dan Jawa – Tengah umumnya, dengan melakukan sebuah observasi “Keberadaan Hylobates moloch atau Owa jawa Terancam” Minimal kami dapat menyumbangkan kemampuan kami untuk Kabupaten Purbalingga tercinta.

HYLOBATES

HYLOBATES
Jenis Primata terancam punah
Powered By Blogger

OUR DOC

OUR DOC
Jenis Primata

WELCOME

Selamat dan salam hijau serta lestari.

I need your help friend

Help them with us

Cari Blog Ini

WE CARE WHAT ABAUT YOU?

April 22, 2010

Jenis anggrek Gunung Slamet yang di buru

KANTONG SEMAR Nephelium javanicus

TANAMAN liar nan langka Nepenthes N adrianii batoro, atau kantong semar, atau periuk monyet, tanaman khas dari Gunung Slamet, Purwokerto Jateng, di ambang kepunahan. Populasinya kini diperkirakan terus menurun akibat penjarahan liar.
TANAMAN liar yang langka kantong semar atau periuk monyet, tumbuhan khas dari Gunung Slamet Purwokerto Jawa Tengah, diperkirakan populasinya terus menurun dan kini diambang kepunahan akibat banyaknya aksi penjarahan.
Saat ini Nepenthes, yang dinamai sesuai dengan nama penemunya, dijarah dan dijual kepada banyak pemesan di Jakarta. Penjarahan itu sudah dilakukan sejak lama. Menurut Kepala Bidang (Kabid) Pengembangan dan Produksi Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Banyumas, hasil pendataan terakhir dilaporkan bahwa populasi Nepenthes tinggal sekira 2.600 pohon.

“Nenenthes adrianii laku keras di pasaran di perkotaan bahkan luar negeri karena termasuk tanaman langka. Ada banyak jenis Nepenthes, tapi kalau jenis Nepentes adrianii hanya ada di Gunung Slamet,” katanya. Dan yang paling mengejutkan, ternyata Nepenthes adrianii sudah dikembangkan di Belanda dan Jerman. Kedua negara itu sudah mengembangkan secara besar-besaran, dengan teknik kultur jaringan. Bahkan kini sudah dijadikan bisnis yang menjanjikan.
“Ini sangat ironis karena di habitat aslinya sudah nyaris musnah. Itu artinya, kita tidak bisa menjaga keanekaragaman hayati di tanah air,” katanya. Nepenthes Adrianii dijual masyarakat sekitar lereng Gunung Slamet antara Rp 20.000,00 - Rp 30.000,00/pohon. Di Jakarta dijual sampai Rp 500.000,00/pohon. Padahal, Nepenthes adrianii sangat sensitif, jika terkena panas matahari bisa mati.
Nepenthes adrianii oleh penduduk sekitar lereng Gunung Slamet dikenal dengan kantong semar. Menurut Slamet, warga sekitar Baturaden berburu kantong semar tidak sulit. Menjualnya pun mudah. Bahkan saat ini pemesannya cukup banyak. “Jika ada pemesan dan telah menyepakati harga, kita tinggal mencarinya. Biasanya tanaman itu tumbuh menempel di pohon-pohon tertentu,” katanya.
Harga per pohon cukup tinggi, jika kondisinya masih bagus bisa terjual Rp 30.000,00. Biasanya para pemesan datang pagi atau malam hari agar tanaman terhindar dari sengatan matahari. Tapi kini sangat jarang dijumpai karena populasinya menyusut.


DISHUTBUN sendiri sudah berusaha untuk mencegah aksi penjarahan agar tanaman ini tidak musnah di habitat aslinya. Pihaknya sudah melarang masyarakat sekitar lereng Gunung Slamet, untuk mengambil apalagi menjual-belikan tanaman langka itu. Namun kendalanya tenaga lapangan jumlahnya sangat terbatas, sehingga tidak bisa melakukan pengawasan setiap saat.
Dishutbun juga sudah melakukan koordinasi dengan perangkat desa sampai kecamatan sekitar lereng gunung, untuk melakukan pengawasan. Upaya lain, melakukan penangkaran dan pembudidayaan tanaman ini.
Di Indonesia terdapat 36 jenis nepenthes, setiap jenis memiliki ciri berbeda. Ciri khas tumbuhan pemakan serangga asal Gunung Slamet ini, memiliki kantong berukuran sedang, tinggi 15 cm dan beristom lebar. Jika ditemukan satu periuk monyet, di sekitarnya bisa ditemukan minimal 10 Nepenthes, kantong priuknya berwarna merah marun.
Nepenthes adrianii tumbuh epifit hanya di pohon tertentu, biasanya menempel di pohon pari, cirep, woro, sarangan, dan panggang ayam. Namun paling banyak epifit pada pohon panggang ayam. Tumbuhnya berkelompok, satu kelompok minimal ada 10 Nepenthes.
Menurut Slamet, di dalam kantong Nepenthes biasanya tersimpan air segar. Para pendaki yang paham mengenai tanaman ini biasanya meminum air di dalam kantong tanaman. Kantong yang masih tertutup berisi cairan sebanyak kurang dari volume kantong. “Air yang tersimpan dalam kantong benar-benar bersih dan tak beracun. Karena adanya di pegunungan, terasa sangat segar,” katanya.

Nepenthes gymnamphora
Pemangsa dari Pegunungan Tanah Jawa
Oleh trubus



Wuih? cantik banget ya, ujar Endang Tri Hartati kala melihat kantong berwarna merah di Lembah Pelus, Gunung Slamet, Jawa Tengah. Wajar bila kepala Kebun Bibit Hortikultura Baturaden, Dinas Pertanian Provinsi Jawa Tengah, itu merasa takjub. Kantong-kantong roset Nepenthes gymnamphora itu tumbuh bergerombol menyembul di atas permukaan tanah sehingga tampak seperti permadani.

Keelokan N. gymnamphora tak hanya dipamerkan oleh kantong bawahnya. Kantong atas dan kantong tengah-peralihan bawah dan atas-tak kalah menarik. Bentuk kantong bawah bulat memanjang, bersayap, dan tidak punya pinggang. Tinggi kantong berkisar 3-12 cm dengan lebar 2-5 cm, tetapi ada juga yang berukuran jumbo. Saya pernah lihat yang tingginya 20 cm di salah satu gunung di Jawa Tengah, ujar Adrian Yusuf Wartono, ketua Divisi Nepenthes Indonesia di Malang.

Warna kantong bawah periuk monyet itu beragam. Mulai dari merah polos, hijau bercak merah di luar kantong, hingga hijau bercak keunguan di dalam kantong. Warna bibir kantong-peristom-juga bervariasi: hijau kekuningan, hijau, merah, hingga keunguan. Bentuk peristom agak miring-mirip N. adrianii-tapi gigi lebih jelas.
Kantong

Kantong atas N. gymnamphora lebih langsing dibandingkan kantong bawah. Rata-rata tinggi kantong antara 6-17 cm dengan lebar 2-4 cm, tapi ada juga yang mencapai 22 cm. Warna kantong atas mayoritas hijau polos, tapi ditemukan juga yang hijau muda berbercak merah di dalam kantong. Kantong atas, tengah, dan kantong bawah bertahan 2-3 bulan.

Sekilas bentuk kantong N. gymnamphora mirip N. pectinata dari Sumatera. Pantas banyak hobiis keliru mengenali. Ciri yang paling membedakan, Kantong N. gymnamphora lebih ramping, ujar M Apriza Suska, kolektor nepenthes di Bogor. Perbedaan lain, N. gymnamphora memiliki kantong atas, sedangkan pada N. pectinata kantong atas jarang terbentuk.

Batang nepenthes endemik Jawa itu berbentuk silinder dengan panjang ruas antardaun kurang dari 10 cm. Kantong semar yang tumbuh di sebagian Jawa Tengah ke arah Jawa Timur memiliki daun tipis. Sedangkan sebagian Jawa Tengah ke arah Jawa Barat tebal. Daun bertangkai dan berbentuk lanset dengan panjang kurang dari 30 cm dan lebar 6 cm. Panjang sulur kurang dari 23 cm.
Terbuka

Di Pulau Jawa, N. gymnamphora tumbuh menyebar di Gunung Gede, Jawa Barat, Gunung Slamet, Jawa Tengah, dan Gunung Semeru di Jawa Timur. Di masing-masing lokasi, bentuk kantong pitcher plant itu berbeda. Periuk monyet asal Telomoyo, Semarang, Jawa Tengah, kantong, tutup kantong, dan peristomnya bulat. Sementara yang asal Gunung Halimun, Jawa Barat, lebih gepeng. Bentuk peristom dan tutup kantong memanjang, seperti elips.

Periuk kera yang namanya dalam bahasa Latin berarti tempayan terbuka (gymnos = terbuka, amphoreus = tempayan, red) itu tumbuh di hutan primer atau sekunder di tanah-tanah vulkanik pada ketinggian 1.000-2.750 m dpl. Kobe-kobe itu kerap terlihat tumbuh di antara paku resam Gleichenia linearis. Di hutan tertentu, ia merambat hingga setinggi 20 meter. Menurut Adrian, kehadiran N. gymnamphora kerap dipakai sebagai indikator iklim. Di lokasi tumbuhnya, iklim lebih basah, kelembapan di atas 75%, dan curah hujan tinggi. Tanah tempatnya berpijak pun miskin unsur hara.

Seperti nepenthes lainnya, N. gymnamphora kerap menjadi juru selamat bagi para pendaki yang kehausan. Air dari kantong tertutup layak diminum. Rasanya segar. Begitu yang Trubus cicipi waktu menjelajah habitat N. gymnamphora di Gunung Slamet, Jawa Tengah. Maklum, pH-nya netral (6-7). Namun, jangan coba-coba meminum cairan dari kantong terbuka. Rasanya masam-pH mencapai 3-dan terkontaminasi jasad serangga yang jadi mangsa. Volume cairan sebanyak ? kantong.

Penduduk di Dieng, salah satu habitat alami, kerap memanfaatkan batang ketakung-yang namanya disematkan oleh Ness pada 1824-untuk mengikat barang sebagai pengganti tali. Cairan dari kantong yang masih tertutup, digunakan sebagai obat batuk.Keindahan pemangsa asal pegunungan Tanah Jawa kerap memikat para pencinta untuk mengoleksi. Sayang, sang entuyut tak mudah dirawat. Bila tak piawai merawat, biarkan keindahan kantong semar itu berada di habitatnya agar si pemangsa tetap jadi penguasa pegunungan Tanah Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar